Dia Memberiku Satu Bitcoin, Tapi Aku Ingin Memberinya Seluruh Dunia

Malam di Jakarta selalu penuh warna, lampu kota berkilau seperti mimpi yang tak bisa kuraih. Aku sedang asyik scrolling BTC Sugar Dating, aplikasi yang bikin semuanya jelas: waktu untuk uang, tanpa drama. Pesannya muncul: “Makan malam bareng, apa kabar? Satu BTC.” Lugas, seperti biasa. Aku ketik “OK” dan kirim. Malam biasa, deal biasa. Atau begitulah yang kupikir.
 
Namanya Dika, usia 30-an, santai dengan kaus hitam polos. Bukan tipe yang pamer Rolex atau mobil mewah, tapi matanya penuh cerita. Kami ketemu di restoran kecil di Kemang, aroma kopi dan pizza bikin suasana hangat. Dia pesan anggur, tertawa kecil, “Aku jarang minum, tapi malam ini pengen santai.” Entah kenapa, suaranya bikin aku ngerasa ada yang beda.
 
Pertemuan pertama kami ringan, kayak ngobrol sama temen lama. Dia tanya kenapa aku di BTC Sugar Dating, aku jawab enteng, “Pengen hidup yang agak nyaman, lah.” Dia cuma mengangguk, nggak nanya lebih jauh, kayak paham sesuatu. Pas pulang, dia transfer satu Bitcoin lewat aplikasi—cepat, transparan, sesuai janji platform. Saldo di dompetku bertambah, tapi hati kok kayak kosong.
 
Kedua kalinya, dia ajak ke rooftop bar di SCBD. Angin malam sejuk, dia mulai cerita. Katanya dia di bidang teknologi, kerja keras dari nol, sekarang punya duit tapi nggak punya orang yang bener-bener dekat. “Aku nggak cari cinta di sini,” katanya pelan, “cuma pengen ada yang dengerin aku.” Aku ngerasa dadaku sesak. BTC Sugar Dating bukan cuma soal transaksi, ternyata. Ini tempat di mana orang-orang kesepian ketemu.
 
Ketiga kalinya, kami ke Pantai Ancol, lihat matahari tenggelam. Dia bilang, “Aku takut sendirian, tapi aku nggak jago soal hubungan.” Aku canda, “Coba pacaran beneran, dong!” Dia cuma nyengir, “Ribet. Di sini kan jujur, aku tahu kamu nggak pura-pura sayang cuma gara-gara duitku.” Kalimat itu bikin aku mikir. Apa aku cuma jualan waktu? Atau aku mulai peduli sama dia?
 
Pertemuan kami mulai nggak kayak kerjaan. Dia kirim pesan tentang buku yang dia baca, ngejek aku yang selalu pesen minuman manis. Suatu hari, dia transfer BTC dengan catatan: “Bukan buat waktumu, tapi buat senyummu.” Jantungan aku. Aku mulai nungguin pesannya, sambil ngelupain tawaran lain di aplikasi. Bahaya, aku tahu.
 
Terakhir kali ketemu, dia ajak ke Monas pas malam. Lampu kota berkelip, tapi dia diam banget. “Aku mau pindah ke Singapura,” katanya tiba-tiba. “Kerjaan.” Aku cuma bisa bilang, “Semoga sukses, ya,” sambil nyanyi dalam hati. Dia ngeliatin aku lama, lalu transfer satu BTC terakhir. “Makasih, kamu bikin aku nggak terlalu kesepian,” katanya.
 
Habis itu, dia hilang. BTC Sugar Dating tetep jalan, dompetku aman, tapi hati aku kayak kehilangan. Aku mikir, kalau bisa ketemu dia lagi, aku pengen bilang: aku nggak cuma mau Bitcoin-mu, aku pengen kasih kamu seluruh dunia.
 
Aplikasi ini nyatain aku sama dia, tapi juga bikin aku sadar apa yang aku cari. Bitcoin itu dingin, tapi perasaan yang lahir dari situ? Hangat banget. Mungkin itu pesona BTC Sugar Dating: mulai dari kontrak, tapi ujungnya ketemu hati yang nyata.