Aku nggak pernah nyangka bakal ketemu orang kayak Bima di BTC Sugar Dating (https://m.btcsugardating.com/#/?invitorCode=188). Umurnya udah kepala lima, foto profil cuma pemandangan kota malam yang buram, deskripsinya singkat: “Cari temen ngobrol.” Aku kira ini cuma bakal jadi transaksi biasa—waktu ditukar Bitcoin, tanpa drama. Kan gitu cara main di platform ini, ya? Tapi Bima beda, dia bikin aku lihat kesepian di balik duit, dan mikirin apa itu “kebersamaan” yang sebenarnya.
Pertemuan pertama di restoran kecil, lampunya redup, dia pakai jas rapi tapi matanya capek, kayak nyembunyiin sesuatu. Pas minum anggur, dia tanya, “Kenapa kamu di sini?” Aku ketawa, “Hidup kan perlu duit, ya nggak?” Dia cuma mengangguk, trus kirim Bitcoin, cepet dan tanpa basa-basi. Aku pikir, Sugar Daddy biasa, duit banyak, nggak banyak tanya. Tapi ada sesuatu di dia yang nggak pas sama stereotip itu.
Kedua kalinya, dia ajak ke toko buku tua, katanya dulu suka nongkrong di sana. Kita ngobrolin buku—Pramoedya Ananta Toer, dia bilang Bumi Manusia bikin dia ngerasa terhubung sama perjuangan hidup. Aku bercanda, “Kamu? Kesepian? Orang kaya gitu kok?” Dia nyengir, tapi pahit. “Semakin rame orang di sekitar, semakin terasa sepinya.” Kata-kata itu ngena. Dia nggak cuma bayar buat waktuku, dia cari orang yang mau dengerin.
Ketiga, di malam hujan, kita ketemu di klub privatnya, tempatnya sunyi kayak dunia lain. Dia cerita tentang hidupnya: pernikahan yang gagal, anak-anak yang jarang hubungi, kerjaan yang nyedot hidupnya. Suaranya datar, tapi tiap kata kayak ngebuka luka. Aku coba bikin suasana ringan, “Cerita gini bisa ke siapa aja, kenapa aku?” Dia nge-stare aku, “Karena kamu nggak pura-pura kasihan sama aku.” Malam itu, transfer Bitcoin-nya ada bonus kecil, “Buat dengerin aku,” katanya. Itu rasanya bukan transaksi lagi, lebih kayak kepercayaan.
Keempat, dia kelihatan lelah banget, kayak kehabisan tenaga. Cerita soal masalah di kantor, susah tidur. Tiba-tiba dia tanya, “Kalau aku kehilangan segalanya, kamu masih dateng nggak?” Aku kaget. “Aku di sini bukan cuma buat duit, tapi karena kamu hargain waktuku,” jawabku. Dia tersenyum, beneran dari hati. Catatan transaksi Bitcoin di platform jelas banget, tapi hubungan kita udah lebih dari angka.
Terakhir, kita ketemu di kafe pinggir pantai, matahari tenggelam warnain semuanya kuning. Dia bilang, “Aku bukan Sugar Daddy. Aku cuma terlalu kesepian.” Kata-kata itu ngena banget. Dia nggak ngejar gengsi atau kesenangan sesaat—dia cuma pengen ada yang ngeliat dia yang sebenarnya. Hari itu dia nggak kirim Bitcoin, cuma bilang, “Kita ngobrol kayak temen aja kali ini.” Aku mengangguk, tapi hati rasanya perih. Kita berdua tahu ini terakhir.
Setelah ninggalin platform, aku sering mikirin Bima. BTC Sugar Dating (https://m.btcsugardating.com/#/?invitorCode=188) bukan cuma soal tuker waktu sama duit. Ini kayak cermin, nunjukin apa yang orang beneran cari. Duit nggak bisa beli cinta, tapi bisa beli momen jujur. Bima ngajarin aku bahwa hidup paling kaya pun bisa kosong. Mungkin hidup itu cuma soal nyari orang yang ngerti kita, meski cuma sebentar.
Kalau kamu penasaran sama koneksi kayak gini, coba cek BTC Sugar Dating. Bukan cuma soal duit—ini soal kemanusiaan.