Dia Mengirimi Saya Alamat Dompet, Lalu Bilang “Selamat Malam”

Malam biasa di apartemen saya di pusat kota Jakarta, lampu kota berkelip di luar jendela. Ponsel saya bergetar, notifikasi dari BTC Sugar Dating, platform yang baru saya jelajahi. Namanya Maya, seorang wanita yang di profilnya bilang dia “suka kopi tengah malam dan percakapan jujur”. Foto profilnya adalah siluet dengan latar langit kota, memancarkan daya tarik misterius. Saya buka pesannya: hanya alamat dompet Bitcoin dan kata singkat, “Selamat Malam”. Itu seperti bisikan lembut yang meninggalkan jejak di hati.
 
Saya pertama kali melihat Maya seminggu lalu di BTC Sugar Dating. Profilnya sederhana, tanpa kata-kata berlebihan, hanya menyebutkan keinginannya untuk koneksi yang tulus. Foto itu membuat saya penasaran, jadi saya mengirim pesan: “Percakapan jujur itu seperti apa?” Balasannya cepat, sedikit jenaka: “Yang tanpa basa-basi. Mau coba?” Kami mengobrol tentang malam kota dan buku yang kami baca, nadanya santai tapi autentik, sesuatu yang sudah lama tidak saya rasakan.
 
Daya tarik BTC Sugar Dating adalah kejelasannya. Berbeda dengan aplikasi kencan yang penuh godaan samar, platform ini membuat segalanya transparan. Sistem pembayaran Bitcoin sangat menarik—cepat, pribadi, tanpa jejak bank. Saya bisa mengontrol apa yang saya investasikan sambil menghormati batasan dia. Di hari ketiga obrolan, Maya menyebutkan dengan santai bahwa jika saya ingin melanjutkan, saya bisa mengirim Bitcoin ke alamat dompetnya lewat platform. Kejujurannya memikat, jadi saya melakukannya. Malam itu, dia mengirim emoji senyum dan “Selamat Malam”.
 
Pertemuan pertama kami di sebuah kafe jazz di Kemang. Udara malam sejuk, alunan saksofon lembut mengisi ruangan. Maya datang dengan sweter hitam, rambutnya diikat longgar, memancarkan keanggunan alami. Dia memesan kopi hitam, tersenyum, dan berkata, “Saya suka yang sederhana—kopi ini, atau orang yang tak banyak bertanya.” Saya tertawa, terkejut dengan keterbukaannya. Kami bicara panjang, tentang hobinya menulis puisi dan tekanan pekerjaan saya di startup. Dia bertanya, “Kesuksesan pernah membuatmu lebih kesepian?” Saya mengaku kadang iya. Dia mengangguk, matanya penuh pengertian. Sebelum pergi, saya mengirim Bitcoin lewat platform. Dia melirik ponselnya dan berkata, “Terima kasih. Selamat Malam.”
 
Obrolan kami berlanjut, selalu tentang hal-hal kecil dalam hidup. Maya tak banyak cerita tentang masa lalunya, dan saya tak bertanya. Aura misteriusnya justru menarik. Setiap obrolan diakhiri dengan alamat dompet dan “Selamat Malam”, seperti ritual yang membuat saya antusias sekaligus gelisah. Siapa dia sebenarnya? Tapi “Selamat Malam” itu seperti batas yang menahan saya dari pertanyaan lebih dalam.
 
Pertemuan ketiga di toko buku di Pantai Indah Kapuk. Dia sedang membaca Hutan Norwegia karya Murakami. Kami bicara soal kesepian, dan dia bilang, “Kesepian itu tak selalu buruk. Itu menunjukkan apa yang kamu inginkan.” Saya tanya apa yang dia inginkan, dia tersenyum: “Pertanyaan besar. Mungkin lain kali.” Malam itu, alamat dompet dan “Selamat Malam” datang lagi, tapi ada rasa pahit yang tersisa.
 
Pertemuan terakhir di tepi Teluk Jakarta. Angin malam membawa kesejukan. Dia menyebutkan mimpinya waktu kecil ingin jadi pelukis, lalu berkata, “BTC Sugar Dating memungkinkan saya pilih siapa yang saya temani, tapi juga mengingatkan untuk tak terlalu dekat.” Jantungan saya terasa sesak. “Kenapa?” tanya saya. Dia tersenyum: “Terima kasih atas waktunya. Selamat Malam.” Malam itu, dia mengirim alamat dompet terakhir. Saya kirim Bitcoin, tapi tak ada balasan.
 
Di apartemen, saya merenungi hubungan singkat ini. Maya seperti angin—datang dan pergi tanpa jejak. BTC Sugar Dating memberi saya kesempatan bertemu dengannya, tapi juga mengajarkan bahwa keindahan bisa fana. “Selamat Malam” itu adalah perpisahan yang lembut, namun mendalam. Apa itu keintiman? Janji abadi atau momen-momen jujur ini? Mungkin pesona BTC Sugar Dating adalah mengajarkan kita menghargai saat ini, meski hanya berakhir dengan “Selamat Malam”.