Waktu pertama kali dapat pesan dari dia di BTC Sugar Dating, aku cuma mikir: ini cuma kerjaan. Malam di Jakarta, aku duduk di kafe kecil di Senopati, buka aplikasi. Pesannya muncul: “Weekend free nggak? Satu BTC buat dinner.” Lugas, nggak neko-neko. Itulah enaknya BTC Sugar Dating—aturan jelas, nggak ada drama cinta palsu. Tapi kadang, hati suka bikin ulah.
Namanya Reza, umur 40-an, kerja di bidang teknologi, matanya capek tapi senyumnya hangat. Kami ketemu di restoran Italia di Kemang, lampu remang-remang, bau basil segar. Dia pesan anggur, ketawa pelan: “Aku jarang minum, tapi malam ini pengen santai.” Suaranya bikin aku ngerasa beda. Ini bukan cuma transaksi.
Kata psikolog, ini namanya “cinta proyeksi”. Sugar Baby kayak aku gampang banget ngebayangin Sugar Daddy sebagai sosok sempurna. Mereka lebih tua, sukses, kayak ngertiin kamu banget, beda sama cowok-cowok di dating app yang cuma omong manis. Reza dengerin ceritaku, nanya soal mimpiku, bahkan inget aku suka jus mangga. Perhatian kayak gitu? Bikin kecanduan. Aku mulai mikir: apa dia beneran suka sama aku? Apa ini lebih dari sekadar deal?
Psikolog bilang, ini ada hubungannya sama “proyeksi bapak”. Bapakku dulu sibuk mulu, jarang ada buat aku. Reza dengan ketenangannya bikin aku ngerasa aman. Tiap dia kirim BTC dengan catatan “Makasih buat waktunya,” hatiku berdebar. Aku ngebayangin cerita cinta yang nggak ada di BTC Sugar Dating. Tapi platform ini kejam jujur: transaksi pake blockchain, aman, anonim, tapi selalu ingetin—ini cuma kontrak, bukan cinta.
Suatu malam, Reza cerita soal perceraiannya. Dia bilang takut terluka lagi, makanya pilih hubungan “terkendali” kayak gini. Aku ngerasa sedih, tapi juga pengen jadi penutup luka itu. Aku mulai dandan lebih rapi, ceritain hidupku, pengen dia lihat “aku yang asli”. Psikolog nyebut ini “emotional labor”—aku nggak cuma kasih waktu, tapi juga hati. Tapi dia? Selalu transfer BTC tepat waktu, tapi nggak pernah janji apa-apa.
Kenapa aku sampe segitunya? Mungkin karena BTC Sugar Dating bikin semuanya gampang. Bitcoin yang transparan dan aman bikin kamu ngerasa bisa ngontrol segalanya. Tapi perasaan? Itu nggak bisa dikontrol. Aku ngebayangin Reza bisa kasih aku cinta yang aku mau, padahal kebaikannya cuma bagian dari transaksi. Ini yang disebut “kompensasi identitas”—aku cari nilai diriku dari pengakuan dia, lupa bahwa aku udah cukup berharga.
Terakhir ketemu, dia bilang mau pindah ke Dubai buat kerja. “Jaga diri ya,” kataku sambil nyanyi dalam hati. Dia kirim BTC terakhir dengan catatan “Terima kasih”. Aku lihat layar, air mata netes. BTC Sugar Dating kasih aku kebebasan finansial, tapi juga nunjukin apa yang aku beneran mau: diterima apa adanya.
Aplikasi ini kayak cermin, nunjukin apa yang aku inginkan dan apa yang bikin aku rapuh. Cinta proyeksi mungkin jebakan, tapi ngajarin aku sesuatu: cinta sejati dimulai dari mencintai diri sendiri. Mungkin lain kali aku bakal lebih hati-hati, atau malah nyemplung lagi, berharap lebih dari sekadar Bitcoin.