Di hiruk-pikuk Jakarta, aku nggak pernah bayangin sebuah kencan bisa bikin jantungan—seru, ngeri, dan nyata. Itu yang kurasain pas ketemu dia lewat BTC Sugar Dating, dari transfer Bitcoin yang dingin ke suasana hangat sebuah kafe di Sudirman. Jaraknya cuma beberapa kilometer, tapi rasanya kayak perjalanan batin.
Namaku Reza, 33 tahun, lajang, kerja di perusahaan tech dengan hidup yang lumayan. Teman-teman bilang aku “pilih-pilih”, tapi aku cuma nggak mau asal settle. Suatu malam, iseng main hape, aku dengar soal BTC Sugar Dating—platform buat ketemu “orang yang ngerti kamu”, dengan pembayaran Bitcoin yang jelas. Kedengeran menarik, jadi aku daftar, mikir nggak bakal lebih buruk dari kencan buta. Setelah scroll profil, aku nemuin dia: 27 tahun, freelancer editor, suka jazz sama jalan-jalan, fotonya buram, misterius banget.
Aku nekat kirim pesan: “Hai, weekend mau ngopi di Sudirman?” Balasannya cepet: “Boleh, cari tempat yang tenang.” Terus dia nambah: “Sebelum ketemu, transfer dulu ya.” Aku kaget—langsung to the point banget! Tapi entah kenapa, itu malah bikin penasaran. Lewat platform, aku kirim Bitcoin sedikit, tulis catatan: “Nungguin ketemu.” Setelah blockchain konfirmasi, dia balas: “Oke, ketemu Sabtu.” Jantunganku deg-degan, kayak mau meeting penting.
Sabtu sore, aku sampai duluan di kafe, ambil meja dekat jendela. Aroma kopi menyebar, musik jazz mengalun pelan. Aku bolak-balik cek hape, mikir dia bakal kayak apa: cool? Cerewet? Setegang aku? Lima menit kemudian, dia masuk—baju simpel, jeans, rambut diikat asal, kayak mahasiswi. Dia senyum, duduk, dan bilang: “Kamu lebih santai daripada di foto.” Aku ketawa, grogi hilang.
Kami pesan latte dan mulai ngobrol. Namanya Lila, editor lepas yang suka kerja di rumah dan kadang jalan buat cari inspirasi. Aku tanya kenapa gabung BTC Sugar Dating. Dia angkat bahu, santai: “Hidup mahal, platform ini praktis.” Aku coba nanya: “Apa yang kamu cari di sini?” Dia tatap aku, jujur: “Aku kasih waktu, kamu kasih respect. Kita sama-sama senang.” Kejujuran itu ngena banget.
Obrolan mengalir. Dia cerita soal trip ke Bali, aku cerita kekonyolan di kantor, kami ketawa bareng kayak temen lama. Kadang dia diam, dengerin serius, lalu tiba-tiba nanya: “Apa yang kurang dari hidupmu sekarang?” Aku kaget, tapi jawab: “Kayaknya semangat.” Dia nggak nanya lebih, cuma bilang: “Cari aja, masih ada waktu.” Rasanya kayak ngomong sama temen yang ngerti aku.
Dua jam berlalu cepet banget. Pas bayar, dia ngotot bayar sendiri: “Platform itu bisnis, kopi ini temenan.” Hatiku hangat—cewek ini beda. Di luar, lampu Sudirman berkelap-kelip. Aku antar dia ke halte bus, dia balik badan, melambai: “Ngobrol lagi ya?” Aku angguk, tapi ada sesuatu yang bikin hati nyesek.
Di rumah, aku buka chat BTC Sugar Dating, lihat pesan terakhirnya: “Ngobrol lagi ya?” Aku senyum. Dari layar ke kafe, jarak pendek itu ngubah sesuatu. Bitcoin cuma awal, tapi koneksi sebenarnya adalah latte, tawa, dan kejujuran. Di kota sepi kayak Jakarta, BTC Sugar Dating bukan cuma transaksi—ini kesempatan ketemu seseorang yang bikin satu momen terasa abadi.